
Dua peristiwa kelam di dua benua berbeda, Indonesia pada pertengahan 1960-an dan Chile awal 1970-an, mencerminkan bagaimana pergantian rezim dapat meninggalkan dampak sosial, politik, dan budaya yang panjang. Meski terpisah oleh samudera dan konteks lokal yang berbeda, beberapa catatan investigatif menunjukkan adanya pola yang mirip dalam perencanaan dan intervensi eksternal, khususnya peran intelijen Amerika Serikat.
Kudeta Indonesia 1965: Awal Tragedi Soeharto
Pada malam 30 September 1965, enam jenderal senior Angkatan Darat Indonesia tewas dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI. Tentara dan kelompok sipil, atas tuduhan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI), melakukan penahanan dan eksekusi yang kemudian memicu aksi anti-komunis yang luas di seluruh negeri. Operasi ini menjadi titik awal bagi naiknya Soeharto dan pembentukan rezim Orde Baru yang berlangsung lebih dari tiga dekade.
Investigasi sejarah yang dilakukan oleh sejarawan lokal dan internasional menunjukkan bahwa keterlibatan intelijen asing dalam konteks ini, termasuk pengumpulan informasi dan pelatihan anti-komunis, menjadi faktor penting. Catatan arsip deklasifikasi CIA menunjukkan bahwa operasi di Indonesia dipelajari sebagai model untuk memengaruhi arah politik di Asia Tenggara dan Amerika Latin.
Kudeta Chile 1973: Operasi yang Direncanakan
Delapan tahun kemudian, di benua lain, Chile menghadapi tragedi yang memiliki pola serupa. Pada 11 September 1973, Presiden terpilih Salvador Allende Gossens digulingkan oleh Jenderal Augusto Pinochet Ugarte dalam kudeta berdarah yang menghancurkan pemerintahan sipil dan membuka jalan bagi rezim militer yang bertahan selama 17 tahun. Dokumen deklasifikasi dan penelitian historis menunjukkan bahwa Amerika Serikat, melalui CIA, memiliki keterlibatan signifikan: pendanaan oposisi, sabotase ekonomi, dan dukungan politik bagi militer Chile.
Beberapa arsip menunjukkan bahwa kudeta Chile bukanlah operasi improvisasi. CIA dan Departemen Luar Negeri AS mempelajari operasi sebelumnya di Asia, termasuk yang terjadi di Indonesia, untuk merancang strategi destabilisasi yang terencana, yang kemudian dikenal dalam dokumen internal sebagai “Operation Jakarta.” Dokumen ini menegaskan bahwa pendekatan intelijen dan taktik yang digunakan di Jakarta menjadi blueprint untuk operasi serupa di Santiago, meski disesuaikan dengan kondisi politik lokal.
Konflik dan Kontroversi Sejarawan
Perspektif ini tidak diterima secara universal. Sebagian sejarawan Chile berpendapat bahwa kudeta Pinochet merupakan hasil dinamika domestik: konflik politik antara pemerintah Allende, oposisi parlemen, dan kekuatan militer internal. Mereka menekankan bahwa intervensi asing hanyalah katalis tambahan, bukan penyebab utama. Namun, arsip CIA dan laporan investigasi, termasuk dokumen deklasifikasi 1990-an, menegaskan adanya keterlibatan sistematis yang menunjukkan rencana yang telah dipelajari sebelumnya di Indonesia.
Di sisi lain, sejarawan Indonesia menyoroti bahwa operasi anti-komunis di Indonesia memiliki konteks sosial-politik yang berbeda, termasuk ketegangan internal militer, konflik ideologi, dan ketidakstabilan ekonomi. Meski begitu, pola strategi intelijen—pengumpulan informasi, propaganda anti-komunis, penguatan militer loyal—menunjukkan kesamaan taktis antara kedua negara.
Di Indonesia, Soeharto muncul sebagai tokoh utama, memanfaatkan kekosongan kekuasaan setelah peristiwa G30S/PKI untuk mengonsolidasikan kekuatan militer dan politik. Operasi ini, meski kontroversial, berhasil menghapus pengaruh PKI dan menetapkan Orde Baru.
Di Chile, Augusto Pinochet memanfaatkan ketegangan politik internal dan dukungan militer untuk menggulingkan Allende. Strategi ini diperkaya dengan intelijen asing, bantuan ekonomi untuk melemahkan pemerintah sipil, dan propaganda anti-komunis. Dokumen CIA menunjukkan bahwa aspek logistik dan koordinasi militer Chile memperoleh “benchmark” dari operasi di Indonesia.
Analisis Perbandingan
Kedua peristiwa menunjukkan pola khas operasi kudeta yang direncanakan:
- Pemanfaatan Ketegangan Internal: Di Jakarta, ketegangan ideologi dan militer dimanfaatkan; di Santiago, ketegangan politik dan ekonomi dimanfaatkan.
- Peran Intelijen Asing: CIA terlibat dalam pengumpulan informasi, perencanaan taktik, dan propaganda di kedua negara.
- Manipulasi Media dan Opini Publik: Dalam kedua kasus, media digunakan untuk membentuk opini publik terhadap PKI di Indonesia dan terhadap Allende di Chile.
- Penyusunan Operasi Militer: Kedua kudeta melibatkan koordinasi militer dan penghapusan oposisi yang sistematis.
Namun, konteks lokal berbeda: Indonesia menghadapi krisis ideologi pasca-kemerdekaan dan ketegangan militer internal, sedangkan Chile menghadapi krisis demokrasi di tengah tekanan ekonomi dan sosial yang dihadapi Allende.
Dampak kedua kudeta sangat signifikan:
- Di Indonesia, lebih dari 500.000 orang tewas selama pembersihan anti-komunis, meninggalkan trauma kolektif yang bertahan puluhan tahun.
- Di Chile, ribuan dibunuh, ditahan, atau hilang selama rezim Pinochet, meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat sipil dan generasi penerus.
Kedua peristiwa menunjukkan bagaimana intervensi eksternal dan dinamika internal dapat bersinergi untuk mengubah jalannya sejarah negara.
Kedua kudeta ini menunjukkan bahwa intervensi asing, konflik internal, dan strategi militer dapat bersinergi, meninggalkan dampak panjang bagi masyarakat dan politik nasional. Dokumen CIA yang menyebut “Operation Jakarta” menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan di Indonesia dipelajari dan dimodifikasi untuk digunakan di Chile. Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya studi lintas negara untuk memahami pola intervensi politik global dan dampaknya terhadap sejarah bangsa.
Sumber: National Geographic Indonesia. “Operation Jakarta: Kala CIA Ulang Strategi Penggulingan Soekarno di Cile.” Diakses September 2025, https://nationalgeographic.grid.id/read/134302655/operasi-jakarta-kala-cia-ulang-strategi-penggulingan-soekarno-di-cile.