Di sebuah sudut kota yang macet dan penuh gedung perkantoran, akan selalu ada satu tempat makan yang jadi jujukan orang-orang lapar menjelang jam istirahat. Di kawasan itu, nama yang belakangan sering muncul di obrolan grup WhatsApp kantor adalah “Bakmi Lintas Rasa”. Porsinya pas, harganya terjangkau, dan topping-nya terkenal “niat”.

Dari luar, usaha ini tampak sempurna. Setiap pukul 12.00–13.00, antrean mengular sampai ke trotoar. Order lewat aplikasi pesan-antar pun tidak pernah sepi, terutama di hari kerja. Di Instagram, foto bakmi dengan topping melimpah bertebaran, lengkap dengan caption: “Bakmi terenak dekat kantor!”

Namun, di balik hiruk pikuk itu, pemiliknya—sebut saja Pak Arman—menyimpan kegelisahan yang tidak pernah ia tunjukkan di depan pelanggan. Setiap akhir bulan, ketika ia duduk sendiri di meja kasir yang mulai sepi, layar m-banking di tangannya berkali-kali membuatnya mengernyit.

“Kok saldo segini terus ya, padahal penjualan rasanya naik?”

Di titik inilah cerita Bakmi Lintas Rasa berubah dari sekadar kisah usaha laris, menjadi studi kasus penuh pelajaran tentang pentingnya standar pengendalian per fungsi bisnis.


Omzet Menggembirakan, Kas Tetap Mengkhawatirkan

Enam bulan terakhir, catatan kasar di buku tulis Arman menunjukkan satu hal yang tampak menjanjikan:

  • Penjualan harian rata-rata naik sekitar 20–30%.
  • Order lewat aplikasi pesan-antar bertambah, terutama di jam makan siang dan sore.
  • Beberapa perusahaan di sekitar mulai memesan dalam jumlah banyak untuk acara kantor.

Di sisi lain, beberapa fakta membuat dahi Arman terus berlipat:

  • Ia sering kelabakan membayar supplier mie dan ayam tepat waktu.
  • Tagihan gas, listrik, dan air kadang dibayar mepet jatuh tempo.
  • Ketika ada kompor rusak atau kulkas bermasalah, ia kebingungan mencari dana untuk servis.

Secara angka penjualan, seharusnya Bakmi Lintas Rasa sudah “aman”. Namun secara kas, usaha itu seperti berlari jauh tanpa sempat menarik napas. Di gudang belakang, beberapa keranjang mie basah terlihat mulai tidak segar, sementara stok daging yang baru datang menumpuk karena belum diolah.

Arman punya satu kebiasaan yang ternyata menjadi akar masalah: ia hanya fokus pada angka omzet, tanpa punya standar dan indikator lain yang bisa memberitahu apakah bisnisnya benar-benar sehat.


Gejala di Dapur, Meja Kas, dan Ruang Istirahat Karyawan

Kalau kita menyelami Bakmi Lintas Rasa lebih dalam, kita akan menemukan lebih banyak “sinyal”.

Di dapur:

  • Stok mie dan sayuran sering kebanyakan, sebagian berakhir layu dan harus dibuang.
  • Kadang, mie habis di tengah jam makan siang karena perhitungan stok kacau.
  • Beberapa porsi yang sudah jadi dikembalikan karena topping tidak sesuai pesanan.

Di area pelanggan dan aplikasi:

  • Bakmi Lintas Rasa mendapat rating 4,5/5 di aplikasi pesan-antar—cukup bagus.
  • Tapi di beberapa ulasan, pelanggan mengeluh: “Pernah order, tapi resto batalin karena stok habis.”
  • Ada juga yang menulis: “Rasanya kadang berbeda, kadang enak banget, kadang keasinan.”

Di sisi SDM:

  • Karyawan ada 6 orang: 3 bagian dapur, 2 frontliner, 1 kurir internal.
  • Jadwal kerja sering berubah mendadak, lembur nyaris setiap hari di jam makan siang.
  • Lembur tidak pernah dicatat, hanya dibalas “nanti ada tambahan”.
  • Dalam setahun, 4 orang sudah keluar masuk; ada yang mengeluh capek dan “feelnya nggak sehat”.

Dan di ruang keuangan:

  • Bakmi Lintas Rasa menyimpan sedikit kas di laci, selebihnya di rekening.
  • Uang masuk dan keluar tidak pernah direkap secara terstruktur.
  • Semua terasa “jalan saja”, hingga suatu hari Arman sadar bahwa ia tidak tahu persis dari mana kebocoran terjadi.

Inilah gambaran klasik sebuah usaha yang ramai di depan, rapuh di belakang.


Saat Arman Bertemu dengan Konsep “Standar Pengendalian Per Fungsi”

Suatu hari, seorang pelanggan tetap yang kebetulan dosen manajemen bisnis mengajak Arman ngobrol lebih serius seusai jam makan siang. Ia bertanya:

“Pak Arman, penjualan kelihatannya bagus ya. Tapi gimana kondisi kas dan karyawan?”

Pertanyaan itu membuat Arman terdiam beberapa detik, sebelum menjawab jujur:

“Lumayan, tapi kok rasanya uang nggak ngumpul, karyawan juga kelihatan capek terus. Saya juga bingung bocornya di mana.”

Sang dosen kemudian menjelaskan singkat tentang pentingnya standar pengendalian per fungsi:

  • Fungsi produksi: bagaimana mengukur penggunaan bahan, kualitas, dan kecepatan proses.
  • Fungsi pemasaran: bagaimana melihat kanal penjualan, margin, dan respon pelanggan.
  • Fungsi SDM: bagaimana memantau absensi, lembur, dan turnover.
  • Fungsi keuangan: bagaimana mengendalikan arus kas, persentase biaya, dan saldo minimum.

“Tanpa standar dan indikator di setiap fungsi, Bapak seperti mengemudi tanpa dashboard,” ujarnya. “Kelihatannya mobil jalan, tapi kita nggak tahu bensin tinggal berapa, mesin panas atau tidak.”

Obrolan sederhana itu menjadi titik balik. Arman mulai sadar bahwa ia tidak bisa hanya mengandalkan perasaan dan omzet. Ia butuh angka lain—angka yang berbicara tentang apa yang benar-benar terjadi di dapur, di ruang kasir, di hati karyawan, dan di rekening bank.


Fungsi Produksi: Dari Bahan Baku Menumpuk ke Alur yang Terukur

Langkah pertama yang Arman lakukan adalah menata produksi.

Ia mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana:

  • Dari 1 kg mie, sebenarnya bisa jadi berapa porsi standar?
  • Dari 1 kg daging ayam, berapa porsi topping yang seharusnya dihasilkan?
  • Berapa banyak bahan yang biasanya terbuang dalam sehari?

Dengan bantuan keponakannya yang jago Excel, Arman mulai mencatat:

  • Yield bahan baku: berapa output porsi dari setiap satuan bahan.
  • Produk cacat: berapa mangkuk yang harus dibuang atau didiskon karena kesalahan.
  • Waktu proses: berapa menit rata-rata dari pesanan masuk hingga bakmi disajikan.

Dari pencatatan ini, perlahan Arman menemukan pola:

  • Ternyata, ada selisih cukup besar antara “seharusnya bisa jadi” dan “yang benar-benar dijual”.
  • Banyak mie yang terbuang di akhir hari karena dibuat terlalu banyak di awal.
  • Proses di dapur sering tersendat ketika stok bahan pendukung (seperti sayur dan topping pelengkap) habis duluan.

Dengan data di tangan, Arman mulai menerapkan standar produksi:

  • Jumlah batch mie yang akan dibuat per jam, berdasarkan pola pesanan harian.
  • Standar berat per porsi, sehingga tidak ada porsi “kebablasan banyak” yang tanpa disadari menggerus margin.
  • Prosedur sederhana untuk memastikan tidak ada bahan yang disiapkan jauh di atas kebutuhan.

Produksi yang tadinya berjalan “mengalir saja” mulai menjadi proses yang lebih terukur dan terkendali.


Fungsi Pemasaran: Menemukan Kanal dan Produk yang Benar-Benar Menguntungkan

Setelah produksi lebih rapi, Arman beralih ke pemasaran.

Selama ini ia hanya senang melihat notifikasi order masuk dari berbagai kanal: makan di tempat, take away, dan aplikasi pesan-antar. Tapi ia tidak pernah bertanya:

“Kanal mana yang benar-benar paling menguntungkan?”

Dengan memisahkan catatan penjualan berdasarkan kanal dan jenis produk, Arman menemukan:

  • Penjualan lewat aplikasi pesan-antar tinggi, tapi biaya platform dan diskon promo memakan margin.
  • Bakmi dengan topping “super lengkap” banyak peminat, tapi margin laba per porsi tipis karena bahan “kalap” dipakai.
  • Menu side dish tertentu jarang dipesan, tetapi ketika laku justru punya margin sangat baik.

Ia mulai membuat indikator:

  • Volume penjualan per kanal (dine-in, take away, online).
  • Margin per produk (bakmi reguler, bakmi spesial, paket hemat, side dish).
  • Rating dan ulasan pelanggan di aplikasi dan media sosial.

Dari sini, keputusan pemasaran menjadi lebih tajam:

  • Promo besar-besaran akan difokuskan pada produk dengan margin sehat, bukan hanya yang ramai.
  • Menu yang jarang laku namun menguntungkan akan di-“dorong” dengan bundling menarik.
  • Batas porsi harian untuk menu yang terlalu berat di biaya akan dibuat, agar tidak “makan” laba.

Tiba-tiba, pemasaran tidak lagi hanya soal “jualan sebanyak mungkin”, tetapi tentang jualan yang menguntungkan dan berkelanjutan.


Fungsi SDM: Menata Jam Kerja, Lembur, dan Harapan

Di balik dapur yang sibuk dan antrean yang mengular, ada tenaga manusia yang sering kali terlupakan: karyawan.

Arman mulai menyadari bahwa turnover yang tinggi adalah indikator yang selama ini ia abaikan. Ia pun mulai membuat standar pengendalian SDM:

  • Absensi dan keterlambatan dicatat setiap hari.
  • Jam lembur per orang per hari ditulis dan direkap per minggu.
  • Diskusi singkat diadakan tiap pekan untuk melihat beban kerja dan keluhan.

Dari sini, masalah-masalah yang tadinya samar menjadi terang:

  • Ternyata beban kerja di jam makan siang sangat berat, sementara di jam lain cukup lengang.
  • Beberapa karyawan merasa lelah karena sering diminta datang mendadak atau pulang larut tanpa kepastian tambahan.
  • Ada rasa “tidak adil” yang perlahan memicu keinginan untuk keluar.

Dengan indikator SDM yang jelas, Arman kemudian:

  • Menata ulang jadwal shift agar beban kerja lebih seimbang.
  • Menetapkan aturan lembur yang transparan: kapan dihitung, bagaimana kompensasinya.
  • Memberikan pelatihan singkat untuk meningkatkan keterampilan dapur dan pelayanan.

SDM bukan lagi sekadar “tenaga kerja yang bisa diganti”, tetapi menjadi aset yang kinerjanya bisa dilihat dari angka konkret dan diperbaiki secara sistematis.


Fungsi Keuangan: Mengatur Napas Kas dengan Standar yang Jelas

Terakhir, Arman membenahi keuangan—bagian yang selama ini paling membuatnya waswas.

Ia mulai dengan mengumpulkan semua data:

  • Berapa total penjualan per bulan, bukan hanya “kira-kira naik”.
  • Berapa total pengeluaran untuk bahan baku, gaji, sewa, listrik, gas, dan lain-lain.
  • Kapan biasanya uang masuk ke rekening (terutama dari aplikasi pesan-antar) dan kapan uang keluar untuk membayar supplier.

Dari situ, Arman menyusun beberapa indikator:

  1. Perputaran persediaan
    • Berapa hari rata-rata stok mie, daging, dan sayur mengendap sebelum terjual.
    • Stok yang terlalu lama berarti kas “terjebak” dalam bentuk barang.
  2. Persentase biaya operasional terhadap penjualan
    • Berapa persen penjualan yang habis untuk bahan baku, gaji, dan overhead.
    • Dari sini, ia tahu apakah struktur biaya masih sehat.
  3. Jadwal bayar supplier vs terima kas
    • Apakah ia selalu membayar supplier lebih cepat daripada menerima uang dari platform?
    • Jika iya, inilah sumber utama “sesak napas” kas.
  4. Saldo kas minimum
    • Berapa jumlah kas yang wajib ada di rekening untuk menutup pengeluaran bulanan dasar.

Dengan pemahaman ini, Arman mulai menegosiasikan tempo pembayaran dengan beberapa supplier, mengatur ulang pembelian agar lebih mendekati pola penjualan, dan menahan diri untuk tidak menarik kas untuk kebutuhan pribadi di luar batas yang ia tetapkan sendiri.

Untuk pertama kalinya, ia melihat bahwa ternyata masalah Bakmi Lintas Rasa bukan karena “penjualan kurang”, tetapi karena pengendalian kas belum berjalan.


Pelajaran untuk Pembaca: Dari Bakmi ke Manajemen

Kisah Bakmi Lintas Rasa adalah cermin yang baik untuk banyak pelaku UMKM dan juga mahasiswa manajemen.

Dari luar, sebuah usaha bisa tampak sangat menjanjikan:

  • Ramai pengunjung,
  • Ramai order online,
  • Banyak foto bersliweran di Instagram.

Namun di balik itu, tanpa standar pengendalian per fungsi, usaha tersebut:

  • Tidak tahu apakah produksinya efisien atau boros,
  • Tidak tahu produk mana yang benar-benar menguntungkan,
  • Tidak tahu apakah karyawannya bekerja secara sehat dan berkelanjutan,
  • Tidak tahu apakah arus kasnya kuat atau hanya bertahan dari satu jatuh tempo ke jatuh tempo berikutnya.

Dengan memecah persoalan menjadi empat fungsi—produksi, pemasaran, SDM, dan keuangan—kita bisa mulai bertanya:

  • Apa indikator produksi yang harus saya pantau?
  • Apa indikator pemasaran yang lebih penting daripada sekadar jumlah followers?
  • Apa indikator SDM yang memberi sinyal bahwa tim sudah kewalahan?
  • Apa indikator keuangan yang menentukan apakah bisnis saya akan bertahan?

Dan pelajaran terpenting dari Bakmi Lintas Rasa adalah ini:

Penjualan naik tidak otomatis berarti bisnis sehat.
Bisnis baru benar-benar sehat ketika setiap fungsi punya standar, indikator, dan tindakan korektif yang berjalan secara sadar.

Jika kamu adalah mahasiswa, kasus seperti ini bisa menjadi latihan berpikir: bagaimana teori pengendalian di buku benar-benar hidup di lapangan. Jika kamu pelaku UMKM, kisah ini bisa menjadi pengingat: sebelum bicara ekspansi, cabang baru, atau branding besar-besaran, pastikan dulu “dapur pengendalian” di dalam usahamu sudah menyala.

Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan Bakmi Lintas Rasa bukan hanya rasa bakmi yang enak, tapi keberanian pemiliknya untuk berhenti mengeluh tentang kas seret dan mulai mengukur apa yang selama ini tak pernah diukur.

Pertemuan Rabu Pagi_10

NoNamaNilai (Skala 100)
1sindi meyola br sembiring100
2Cut Zalianti100
3Rizkya Rachmaliana100
4adinda dwi novita97
564251928 SALWA NAFINGA100
6Deswita Aisyah100
7Rahmad Riskianto (64252084)97
8Robiatul Adawiyah87
9Anggit Setiawan87
10Jevika Berek83
11Khansa Prayudati Fathinah90
12Rashika zakia Zahra77
13Dewi Agustine Prabowo80
14Naysilla azzahra (64252168)83
15Nayla Fitri Zaskia -6425217383
16Gendis Ayu Larasati77
17nadin jania63
18Reza Adhitya Pratama Putra70
19Syalwa Wibowo67
20regita lestari57
21Faisal Hilmi47
22fathir nur ramadhan20