Kota Nova Jaya dan Seni Mendelegasikan
Tahun 2035, kota Nova Jaya berdetak dengan ritme baru. Drone logistik beterbangan di atas jalan raya, toko ritel tanpa kasir berdiri di setiap sudut, dan notifikasi rapat muncul di lensa augmented reality setiap beberapa menit.
Di tengah hiruk pikuk teknologi, organisasi—baik yang besar maupun yang kecil—di kota ini menghadapi satu persoalan klasik yang ternyata tidak pernah benar-benar usang: bagaimana cara mendelegasikan wewenang dengan benar.
Meskipun software manajemen proyek sudah canggih, di balik layar tetap ada manusia: atasan, bawahan, rekan kerja, dan relawan. Dan di antara mereka, selalu mengalir empat hal yang menentukan: tugas, wewenang, tanggung jawab, dan akuntabilitas.
Cerita berikut membawa kita menyusuri empat sudut Nova Jaya: sebuah kampus, jaringan ritel besar, pabrik produksi, dan usaha catering rumahan. Semuanya terhubung oleh satu tema: delegasi.
1. Fikri dan Dina: Delegasi Semu di Seminar Nasional
Di Universitas Nova Jaya, mahasiswa tengah mempersiapkan acara Seminar Nasional Masa Depan Manajemen. Panitia berkantor di coworking space kampus yang dipenuhi layar, sticky notes digital, dan papan jadwal raksasa.
Di pucuk struktur kepanitiaan berdiri Fikri, sang ketua. Ia enerjik, supel, dan sangat ingin acara ini berjalan sempurna. Di dashboard panitia, struktur terlihat rapi:
- Ketua: Fikri
- Seksi Acara
- Seksi Konsumsi
- Seksi Perlengkapan
- Seksi Publikasi
Di antara nama-nama itu, muncul nama Dina sebagai Koordinator Konsumsi.
Ketika rapat pertama, Fikri membagi tugas dengan penuh semangat.
“Dina, kamu pegang konsumsi ya. Semua soal makan dan minum, kamu yang urus,” katanya sambil tersenyum.
Dina mengangguk. “Siap. Nanti saya cari beberapa vendor dan susun alternatif menu.”
Dalam teori, Fikri baru saja melakukan delegasi wewenang: ia melimpahkan tugas mengurus konsumsi kepada Dina, beserta tanggung jawab untuk memastikan semua peserta mendapatkan makanan tepat waktu. Namun, ada satu unsur yang diam-diam tercecer: wewenang.
Beberapa hari kemudian, Dina mengirim daftar calon vendor ke grup panitia:
“Mas Fikri, ini tiga pilihan vendor konsumsi, lengkap dengan menu dan harga. Menurut saya, Vendor B paling cocok untuk budget dan selera peserta.”
Tidak lama, balasan dari Fikri muncul:
“Iya, nanti aku pikirin dulu. Jangan kontak siapa-siapa dulu ya sebelum aku oke-in.”
Dina pun menunggu. Satu hari lewat. Dua hari lewat. Vendor B mengirim pesan: “Mbak Dina, jadi lanjut atau tidak? Kami harus atur jadwal produksi.”
Dina kembali mengingatkan Fikri.
“Mas, vendor minta konfirmasi. Kalau terlambat, mereka bisa full booked.”
Fikri menjawab, “Tenang, nanti malam aku cek. Aku lagi urus publikasi dan surat-menyurat sponsor dulu.”
Waktu berjalan. Akhirnya, mendekati hari H, Fikri buru-buru memutuskan sendiri vendor dan menu tanpa banyak berdiskusi. Pada hari acara, terjadi kekurangan konsumsi di sesi siang. Beberapa peserta mengeluh di media sosial.
Di ruang rapat evaluasi, Fikri berkata dengan nada kecewa, “Kok konsumsi bisa kurang? Dina, kamu kan koordinator konsumsi.”
Dina terdiam. Ia ingin menjawab, “Semua keputusan pembelian tetap Mas Fikri yang pegang. Saya hanya menunggu.” Namun ia menahan diri.
Di sini, kita melihat contoh delegasi semu di dunia nyata:
- Tugas sudah dilempar: “Kamu urus konsumsi.”
- Tanggung jawab ditempel ke nama Dina: “Koordinator Konsumsi.”
- Tapi wewenang untuk membuat keputusan penting—memilih vendor, menegosiasikan menu, mengonfirmasi pesanan—tetap dikunci di tangan Fikri.
- Ketika ada masalah, akuntabilitas justru didorong ke Dina.
Dalam organisasi, situasi ini berbahaya. Dina memikul label tanggung jawab, tetapi tidak bisa benar-benar mengendalikan hasil. Ini melanggar prinsip dasar delegasi: tugas, wewenang, tanggung jawab, dan akuntabilitas harus berjalan seimbang.
Fikri sebenarnya tidak berniat buruk. Ia hanya terlalu takut ada yang salah jika ia tidak memutuskan sendiri. Namun ketakutan itu menjadikan dia bottle-neck, dan membuat orang yang ia tunjuk tidak punya ruang untuk tumbuh.
2. AuroraMart: Delegasi Strategis di Jaringan Minimarket
Beberapa kilometer dari kampus, jaringan minimarket futuristik bernama AuroraMart sedang mengalami masa ekspansi besar-besaran. Toko-toko baru dibuka di distrik-distrik baru, dari pusat kota sampai pinggiran.
Di command center AuroraMart, puluhan layar menampilkan data stok barang, penjualan harian, hingga pola belanja berdasarkan waktu dan lokasi. Semua tampak canggih dan terkendali. Namun di balik angka-angka itu, muncul masalah baru yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan algoritma.
Awalnya, manajemen pusat menerapkan pola yang sangat terpusat:
- Semua keputusan pembelian barang harus disetujui kantor pusat.
- Semua ide promosi harus melewati approval direktorat pemasaran.
- Penjadwalan karyawan harus mengikuti template standar yang dibuat sistem.
Saat toko masih sedikit, sistem ini berjalan baik. Tetapi ketika cabang berkembang pesat, masalah muncul:
- Toko baru sering kehabisan stok barang populer karena menunggu persetujuan pembelian.
- Peluang promosi lokal—misalnya diskon saat festival tradisional di satu daerah—terlewat karena keputusan baru turun setelah momen berlalu.
- Kepala toko merasa dirinya hanya “penonton” dari keputusan yang diambil jauh di pusat.
Di salah satu cabang baru, kepala toko bernama Rafi mengirim pesan ke atasannya:
“Pak, pelanggan di sini suka sekali produk lokal A dan B. Tapi stoknya sering habis karena pengajuan restok lama. Bolehkah cabang diberi ruang memutuskan pembelian rutin untuk barang-barang tertentu?”
Keluhan serupa datang dari beberapa cabang lain. Akhirnya, manajemen pusat menyadari: mereka tidak mungkin mengontrol semua keputusan operasional detail dari satu meja di command center.
Dalam rapat strategi, direktur operasional AuroraMart mengusulkan model baru:
- Wewenang pembelian rutin untuk barang-barang tertentu didelegasikan ke kepala toko, dengan batas nilai tertentu per periode.
- Kepala toko diberi wewenang untuk membuat promosi lokal sesuai budaya dan kebiasaan pelanggan sekitar, selama mengikuti panduan umum (misalnya tidak melanggar etika, tidak merugikan brand, dan mematuhi batas diskon).
Artinya, AuroraMart mulai menerapkan delegasi wewenang yang sadar prinsip:
- Mereka mengakui keterbatasan waktu dan energi manajer pusat.
- Mereka memahami bahwa kepala toko punya pengetahuan lokal yang tidak dimiliki pusat.
- Namun mereka tetap menjaga keseimbangan: wewenang diberi, tetapi batas dan panduan tetap jelas.
Beberapa bulan setelah model baru dijalankan, data menunjukkan:
- Stok di toko-toko cabang lebih stabil.
- Penjualan meningkat, terutama di momen-momen lokal (festival, hari pasar, dan sebagainya).
- Kepala toko melaporkan motivasi yang lebih tinggi karena merasa dipercaya dan punya peran nyata dalam meningkatkan kinerja cabangnya.
Delegasi di AuroraMart bukan sekadar membagi tugas. Manajemen pusat melimpahkan:
- Tugas: mengelola stok dan promosi harian.
- Wewenang: memutuskan pembelian rutin dan promosi lokal dalam batas tertentu.
- Tanggung jawab: kepala toko diminta menjaga standar layanan dan target penjualan.
- Akuntabilitas: mereka harus melaporkan hasil dan siap dievaluasi berdasarkan data kinerja.
Ini adalah contoh delegasi yang digunakan untuk mengatasi keterbatasan pusat, mempercepat keputusan, dan mengembangkan kapasitas kepala toko sebagai calon pemimpin.
3. Pak Arman dan Pabrik Polaris: Ketika Delegasi Tertahan
Di zona industri Nova Jaya, berdiri pabrik modern bernama Polaris Manufacturing. Mesin-mesinnya canggih, banyak proses yang sudah diotomatisasi. Namun di tengah semua kemajuan itu, banyak keputusan tetap bergantung pada satu orang: Pak Arman, manajer produksi senior.
Pak Arman dikenal sebagai “orang yang selalu bisa diandalkan.” Ia sudah bekerja puluhan tahun di industri, hafal semua mesin, dan tahu celah-celah proses produksi. Masalahnya, reputasi itu membuatnya sulit melepas pekerjaan kepada orang lain.
Setiap kali supervisor mencoba mengambil inisiatif, Arman punya kebiasaan menjawab:
“Kalau kamu ragu, kasih ke saya saja. Daripada salah, nanti yang disalahkan tetap saya.”
Awalnya, bawahan merasa aman. Mereka berpikir, “Selama Pak Arman ada, semua pasti beres.” Tapi perlahan, efek negatif mulai terlihat:
- Supervisor tidak pernah benar-benar belajar mengambil keputusan; mereka hanya mengalirkan informasi ke Arman.
- Jika ada masalah kecil, semua mata langsung tertuju pada Arman, bukan pada sistem kerja tim.
- Arman sendiri kelelahan, sering lembur, dan sulit cuti.
Suatu hari, sesuatu terjadi.
Arman mengalami gangguan kesehatan dan harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Tiba-tiba, di pabrik Polaris, semua orang kelimpungan.
Supervisor berdiri di depan panel monitor, saling pandang.
“Setelan mesin ini biasanya Pak Arman yang atur,” kata satu orang.
“Kalau ada gangguan di lini tiga, siapa yang putuskan berhenti atau lanjut?” tanya yang lain.
“Coba telepon Pak Arman,” usul seorang karyawan. Tapi Arman sedang dalam perawatan intensif, tidak bisa diganggu.
Dalam beberapa jam, produksi kacau. Keputusan tertunda, masalah kecil membesar karena tidak ada yang berani mengambil risiko. Pabrik yang tampak modern itu ternyata bergantung pada satu orang.
Di sini, hambatan delegasi dari sisi manajer terlihat jelas:
- Takut kehilangan kontrol.
- Kurang percaya pada kemampuan bawahan.
- Perfeksionisme berlebihan: merasa hanya dirinya yang bisa “paling benar”.
Dalam jangka pendek, gaya ini membuat Arman merasa aman: semua di tangannya. Tapi dalam jangka panjang, organisasi menjadi rapuh, dan bawahan tidak berkembang.
Manajemen Polaris akhirnya menyadari, pola kepemimpinan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Mereka memutuskan:
- Mengadakan coaching untuk Arman agar ia belajar memetakan mana keputusan yang harus dipegang sendiri dan mana yang bisa dilimpahkan.
- Memberi pelatihan kepada supervisor, termasuk simulasi pengambilan keputusan tanpa Arman.
- Menyusun SOP yang jelas tentang batas wewenang dan prosedur eskalasi masalah.
Tujuannya bukan mengurangi peran Arman, tetapi membuatnya menjadi pemimpin yang melahirkan pemimpin berikutnya, bukan sekadar “pahlawan tunggal” di pabrik.
4. Bu Lilis dan Catering Lumina: Delegasi yang Menguatkan
Di sudut perumahan Nova Jaya, ada usaha catering rumahan bernama Lumina Catering yang sedang naik daun. Pemiliknya, Bu Lilis, memulai usaha ini dari dapur rumahnya. Ia memegang semua peran:
- Belanja bahan ke pasar.
- Menyusun menu.
- Masak utama.
- Mengatur kurir.
- Membalas pesan pelanggan di berbagai platform digital.
Ketika pesanan masih sedikit, pola ini bisa berjalan. Namun seiring waktu, ulasan positif dan rekomendasi dari mulut ke mulut membuat pesanan meningkat tajam. Pagi, siang, malam, ponsel Bu Lilis tidak berhenti berbunyi. Ia mulai kewalahan.
Suatu malam, setelah selesai memasak dan mengantar pesanan, Bu Lilis duduk kelelahan.
“Kalau saya terus begini, saya yang habis duluan sebelum usahanya berkembang,” gumamnya.
Ia lalu memutuskan melakukan sesuatu yang selama ini ia takutkan: mendelegasikan.
Pertama, ia mengajak Reni, karyawan senior yang sudah lama membantunya.
“Reni, mulai bulan depan, kamu yang pegang urusan belanja dan stok bahan. Kamu boleh memilih merek bahan, selama kualitasnya bagus dan masih dalam budget yang kita sepakati,” kata Bu Lilis.
Artinya, Bu Lilis tidak hanya menyerahkan tugas (“kamu yang belanja”), tetapi juga wewenang (“kamu boleh memutuskan merek dalam batas tertentu”). Reni juga memikul tanggung jawab untuk memastikan bahan selalu tersedia, dan akuntabilitas dalam bentuk laporan belanja mingguan kepada Bu Lilis.
Kedua, Bu Lilis menunjuk Bimo sebagai koordinator pengiriman.
“Bimo, kamu atur rute dan jadwal kurir. Targetku sederhana: semua pesanan sampai tepat waktu dengan biaya bensin serendah mungkin. Kita evaluasi bareng tiap minggu.”
Di sini, Bimo menerima:
- Tugas: mengatur pengiriman.
- Wewenang: menentukan rute, jadwal, dan pembagian zona kurir.
- Tanggung jawab: memastikan ketepatan waktu.
- Akuntabilitas: laporan keterlambatan dan solusi perbaikan di pertemuan evaluasi.
Bu Lilis juga mengubah perannya:
- Alih-alih mengurus semua hal kecil, ia fokus pada kualitas rasa, pengembangan menu baru, dan promosi di media sosial.
- Ia mengadakan evaluasi mingguan singkat dengan Reni dan Bimo, memberi umpan balik dan juga apresiasi ketika ada ide perbaikan yang bagus.
Dalam tiga bulan, Lumina Catering berubah:
- Tingkat keterlambatan pengiriman turun drastis.
- Keluhan stok bahan habis mendadak nyaris hilang.
- Bu Lilis memiliki lebih banyak waktu berpikir strategis.
Berbeda dengan Fikri dan Arman, Bu Lilis menunjukkan delegasi yang efektif:
- Tujuan jelas.
- Orang yang dipilih tepat.
- Wewenang yang cukup diberikan.
- Pengawasan wajar, bukan micromanaging.
- Kesalahan awal dijadikan bahan belajar, bukan sekadar ajang menyalahkan.
Delegasi di sini bukan membuat Bu Lilis “lepas tangan”, tetapi justru memperkuat tangannya: ia bisa menjangkau lebih banyak hal karena tidak lagi terjebak pada pekerjaan teknis yang sebenarnya bisa dipegang orang lain.
Pertanyaan Reflektif untuk Pembaca / Mahasiswa
Setelah membaca keempat cerita di atas—Fikri dan Dina di kampus, jaringan minimarket AuroraMart, Pak Arman di Polaris, dan Bu Lilis di Lumina Catering—
jelaskan dengan bahasamu sendiri:
Apa yang dimaksud dengan delegasi wewenang yang sehat, dan bagaimana ketidakseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan akuntabilitas dapat memengaruhi kinerja sebuah organisasi?
Coba kaitkan jawabanmu dengan minimal satu kasus dalam cerita di atas atau pengalamanmu sendiri.
Pertemuan 9_Senin
| No | Nama | Nilai (0–100) |
| 1 | Syifaa Annisa Zalfaa | 100 |
| 2 | Nayla Putri Rahma Novianti** | 100 |
| 3 | Chintya Aprilia Putri | 100 |
| 4 | Nur Fanisahilla | 100 |
| 5 | Rizka Alifia Novarina | 100 |
| 6 | Safira Novelia | 100 |
| 7 | Dilla Arliana | 100 |
| 8 | Popy Agis Firzatullah | 100 |
| 9 | Laura Syahnandaz | 96 |
| 10 | Rachelia Febiyanti | 96 |
| 11 | Deva Ayu Octavia Ramadhani | 96 |
| 12 | Amandha Annas Natasya | 96 |
| 13 | Lanya Subiyanto | 96 |
| 14 | Talitha Syifa | 96 |
| 15 | Monica Saputri | 96 |
| 16 | Camila Kanza | 96 |
| 17 | Maesyila Azhara | 96 |
| 18 | Syafira Ghina Khalilah | 96 |
| 19 | Ade Putri Aulia | 96 |
| 20 | Nadine Sayida | 96 |
| 21 | Muhammad Ivan Zein | 96 |
| 22 | Senia Dewi Pamela | 96 |
| 23 | Juwita Khoirulisa | 96 |
| 24 | Syellen Beauty Listianisa | 96 |
| 25 | Kurnia Ilma Ikfiyah | 96 |
| 26 | Raya Achmadiyoso | 96 |
| 27 | Nanda Zhahwa Khoirunnissa | 96 |
| 28 | Muhamad Reza Ramadhan | 96 |
| 29 | Rei Rahman Faudzi | 96 |
| 30 | Natasya Aryanty | 96 |
| 31 | Mutia Dwi Sabrina | 93 |
| 32 | Rasya Putra | 93 |
| 33 | Ghina Nayla Alfarah | 93 |
| 34 | Novitriyani Dira Supriatna | 93 |
| 35 | Salwa Amalinda | 93 |
| 36 | Renaldi Pati Nggumbe | 93 |
| 37 | Nadya Khairani | 93 |
| 38 | Nova Maria Ulfa | 93 |
| 39 | Dinar Keizia N | 93 |
| 40 | Mia Dwi Susanti | 93 |
| 41 | Ashilah Fathiyya Nabilah | 93 |
| 42 | Intan Nuraini | 93 |
| 43 | Adinda Salwa Syahira | 93 |
| 44 | Maesyah Nuramelia | 93 |
| 45 | Reza Adi Putra | 93 |
| 46 | Salwa Fitriyah | 93 |
| 47 | Cindy Ramadhani Riefwanti 64250588 | 93 |
| 48 | Zahra Salsabila | 93 |
| 49 | Dhea Chaerina | 93 |
| 50 | Javani Nabhila Azzahra | 93 |
| 51 | Sintya Suryani Dewi | 93 |
| 52 | Suci Ramadhani Islami | 93 |
| 53 | Meysia Aulia Putri 64250742 | 93 |
| 54 | Danar Dwi Astomo | 93 |
| 55 | Marcella Prilianty | 93 |
| 56 | Revalia Assan | 93 |
| 57 | Sheira Maulida Putri 64250831 | 93 |
| 58 | Andra Yani | 93 |
| 59 | Syaqira Herrel | 93 |
| 60 | Rizqika Putri Hudani | 93 |
| 61 | Nadira Rahmadani. SM | 93 |
| 62 | Nasywa Tajali AlAin | 93 |
| 63 | Firiyalazkia23 A | 93 |
| 64 | Muhammad Faidhlul | 89 |
| 65 | As Syaukan Sri Dano Imron | 89 |
| 66 | Shelvy Surya Allathiif | 89 |
| 67 | Chynthia Afrillia | 89 |
| 68 | Nabila Septi Romadhoni | 89 |
| 69 | Shabila Musyaqinah | 89 |
| 70 | Alpi Yansyah | 89 |
| 71 | Al Vicky Julmansyah | 89 |
| 72 | Melani Zulqia Wardani | 89 |
| 73 | Diva Putri Aurelia | 89 |
| 74 | Sabriana 64250234 | 89 |
| 75 | Winansyah Syah | 89 |
| 76 | Lina Aulia | 89 |
| 77 | Ilona Asvika | 89 |
| 78 | 64250225 Muhamad Dhimas Ramadhanni | 89 |
| 79 | Chelsy Nacila Melati Putri Jaya_64250438 | 89 |
| 80 | Firza Malika Chatami Sulaeman | 89 |
| 81 | Ninda Ulya Rahma | 89 |
| 82 | Alya Salsabila | 89 |
| 83 | Raihan Al Arroyan | 89 |
| 84 | Irene Dwi Aliza | 89 |
| 85 | Adinda Maysa | 89 |
| 86 | Rismia A | 89 |
| 87 | Yulia Nur Satriani | 89 |
| 88 | Indiranaresa Putri | 89 |
| 89 | Nazwa Putri Nabila | 85 |
| 90 | Marcella Alliviani Mulyono Tobing | 85 |
| 91 | Siti Novita Sari | 85 |
| 92 | Zahra Humaira | 85 |
| 93 | Vallin Alzahara | 85 |
| 94 | Denayla Farenisa | 85 |
| 95 | Irma Wati | 85 |
| 96 | Ilma Fatimah | 85 |
| 97 | Alya Salma Kamila | 85 |
| 98 | Siti Alfarisya | 81 |
| 99 | Erick Adenio . | 81 |
| 100 | Chairunisa Ramadhani | 81 |
| 101 | Dinda Olivia | 81 |
| 102 | Kinanti Putri | 81 |
| 103 | Arini Revalia Putri | 81 |
| 104 | Rahmania Triani Rahmasari_64250834 | 81 |
| 105 | Fransiskus Simanulang | 78 |
| 106 | Rhamadan Inda Robbi | 78 |
| 107 | Ibnu Santoso | 78 |
| 108 | Dwi Prasetyo | 74 |
| 109 | Zulayka Latifa Zihan | 74 |
| 110 | Rizka Widy Puspita | 74 |
| 111 | Fita Hana Khairina | 70 |
| 112 | Zoya Nashifa Setiawan | 70 |
| 113 | Syafiq Afandi | 63 |
| 114 | Ayu Safitri, 64250833 | 59 |
| 115 | Z | 41 |
| 116 | Suartini Ninik | 22 |
| 117 | M. Rafid R | 19 |
Pertemuan 9_Rabu Pagi
| No. | Nama | Nilai Skala 100 |
| 1 | Robiatul Adawiyah | 93.33 |
| 2 | Sindi Meyola Br Sembiring | 100 |
| 3 | Jevika Berek | 90 |
| 4 | Dewi Agustine Prabowo | 86.67 |
| 5 | Adinda Dwi Novita | 96.67 |
| 6 | Rashika Zakia Zahra* | 90 |
| 7 | Rizkya Rachmalian | 93.33 |
| 8 | Cut Zalianti | 100 |
| 9 | Anggit Setiawan | 90 |
| 10 | Salwa Nafinga (64251928) | 100 |
| 11 | Rahmad Riskianto (64252084) | 100 |
| 12 | Nayla Fitri Zaskia (64252173) | 93.33 |
| 13 | Reza Adhitya Pratama Putra | 86.67 |
| 14 | Naysilla Azzahra (64252168) | 86.67 |
| 15 | Syalwa Wibowo | 80 |
| 16 | Regita Lestari | 80 |
| 17 | Deswita Aisyah | 83.33 |
| 18 | Nadin Jania Nurhayati | 73.33 |
| 19 | Gendis Ayu Larasati | 63.33 |
| 20 | Faisal Hilmi Jayalaksana (64252131) | 43.33 |
| 21 | Fathir Nur Ramadhan | 30 |
| 22 | Sabillah Fasqal | 20 |