
Jakarta, WARNAMEDIAONLINE – Kontroversi Pagar Laut di Banten: Ancaman bagi Tata Kelola Pesisir?. IPB University Gelar Diskusi Pakar Bahas Tata Kelola Laut pada 10 Februari 2025, IPB University mengadakan diskusi pakar bertajuk “The 48th Strategic Talks: Pagar Laut dan Disrupsi Tata Kelola Pesisir dan Laut Kita”. Acara ini membahas polemik pembangunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, yang diduga melanggar aturan tata ruang laut karena dibangun tanpa izin resmi, mengganggu akses publik, dan berpotensi merusak ekosistem.
Pagar Laut di Tangerang: Mengungkap Konflik Kepentingan, Kerugian Ekologis, dan Sosial-Ekonomi
Pesisir utara Kabupaten Tangerang, Banten, digemparkan oleh keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang dibangun tanpa izin resmi. Pagar yang terbuat dari bilah-bilah bambu ini membentang melintasi 16 desa di enam kecamatan, menghalangi akses nelayan dan berpotensi merusak ekosistem laut. Meskipun telah dilaporkan sejak Agustus 2024, tindakan tegas dari pemerintah baru dimulai pada Januari 2025.
Dampak terhadap Nelayan dan Ekosistem
Keberadaan pagar laut ilegal ini telah menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi masyarakat pesisir. Sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya ikan terdampak langsung, dengan estimasi kerugian mencapai Rp9 miliar dalam lima bulan terakhir. Selain itu, ekosistem pesisir mengalami kerusakan akibat modifikasi aliran air dan sedimen, serta gangguan terhadap habitat biota laut. Pagar bambu ini mengubah pola arus laut, mengganggu ekosistem lamun yang menjadi habitat penting bagi berbagai spesies ikan, dan mengancam keberlanjutan sumber daya laut yang menjadi tumpuan hidup masyarakat setempat.
Kontroversi Kepemilikan dan Penegakan Hukum
Investigasi mengungkap bahwa area yang dipagari telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan pada 2023 dan 2024. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan bahwa sertifikat tersebut tidak sah karena berada di wilayah perairan yang seharusnya menjadi milik negara. Proses hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat masih berlangsung, dengan desakan dari berbagai pihak untuk mengusut tuntas kasus ini. Menteri ATR, Nusron Wahid, membeberkan hasil investigasi yang menemukan 263 bidang SHGB di Desa Kohod, dengan panjang pagar laut sekitar 3,5-4 km dari total 30 km. Penerbitan sertifikat di atas laut ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas dan akuntabilitas lembaga terkait dalam menjaga aset negara.
Tindakan Pemerintah dan Harapan Masyarakat
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel pagar laut tersebut dan memerintahkan pembongkaran dalam waktu 20 hari sejak 9 Januari 2025. Namun, hingga pertengahan Februari, proses pembongkaran baru mencapai 18,7 kilometer dari total panjang pagar. Masyarakat berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahan ini agar akses nelayan kembali normal dan ekosistem pesisir dapat pulih. Selain itu, diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan pagar ilegal ini untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Analisis Dampak Sosial-Ekonomi dan Ekologis
Pemasangan pagar laut ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi dan ekologi, tetapi juga memicu konflik sosial di kalangan masyarakat pesisir. Pembatasan akses terhadap sumber daya laut telah menimbulkan ketegangan antara nelayan tradisional dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan pagar tersebut. Selain itu, perubahan lingkungan akibat modifikasi aliran air dan sedimentasi dapat mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir, yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Subarudi, menekankan bahwa keberadaan pagar laut dapat menjadi awal dari upaya reklamasi yang mengancam keadilan akses sumber daya bagi masyarakat pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak terencana dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat dapat menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara sosial maupun ekologis.
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Ke Depan
Kasus pagar laut di Tangerang ini mencerminkan konflik antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, serta pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk melindungi hak-hak masyarakat pesisir dan kelestarian ekosistem laut. Pemerintah perlu meningkatkan koordinasi antar lembaga terkait untuk memastikan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan adil. Selain itu, transparansi dalam proses perizinan dan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas di wilayah pesisir harus menjadi prioritas untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Agus Harimurti Yudhoyono, telah memerintahkan agar hasil investigasi pagar laut Tangerang dibuka ke publik, sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menangani kasus ini secara transparan dan akuntabel. Langkah ini diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menonton rekaman lengkap diskusi ini melalui tautan berikut:
Ombudsman RI Rilis Hasil Investigasi Kasus Pagar Laut di Tangerang
Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menonton rekaman lengkap diskusi ini melalui tautan berikut: