Jakarta, WARNAMEDIAONLINE – Cinta bukan sekadar perasaan yang menghangatkan hati, tetapi juga fenomena biologis yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa jatuh cinta memicu reaksi kompleks dalam otak dan tubuh manusia, membawa dampak yang signifikan bagi kesehatan mental dan fisik.

Perubahan Otak saat Seseorang Jatuh Cinta

Jatuh cinta melibatkan berbagai neurotransmitter yang memengaruhi suasana hati dan perilaku seseorang. Perubahan ini tidak hanya terasa saat perasaan cinta mulai tumbuh, tetapi juga berlanjut dalam jangka panjang.

1. Euforia dan Kesenangan

Saat jatuh cinta, seseorang merasakan kegembiraan yang meluap-luap ketika berada di dekat orang yang dicintai. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produksi dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan rasa senang dan kepuasan. Bahkan, hanya memikirkan orang yang dicintai dapat memicu pelepasan dopamin, memberikan sensasi bahagia yang mendalam.

2. Keterikatan dan Keamanan

Selain dopamin, oksitosin—sering disebut sebagai “hormon cinta”—juga mengalami lonjakan saat seseorang jatuh cinta. Hormon ini meningkatkan perasaan keterikatan, keamanan, dan kepercayaan, menjelaskan mengapa seseorang merasa nyaman dan tenteram saat bersama pasangan.

3. Kemauan untuk Berkorban

Penelitian menunjukkan bahwa cinta dapat mendorong seseorang untuk lebih rela berkorban bagi pasangannya. Fenomena ini berhubungan dengan aktivitas saraf vagus, yang mengatur respons emosional dan keterikatan dalam hubungan.

4. Pikiran yang Tak Henti

Perasaan cinta sering kali membuat seseorang terus-menerus memikirkan pasangannya, bahkan dalam mimpi. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas di korteks cingulate anterior, bagian otak yang juga terkait dengan perilaku obsesif-kompulsif.

5. Penurunan Stres

Hubungan yang sehat dan penuh kasih sayang dapat menurunkan kadar kortisol, hormon stres dalam tubuh. Penelitian tahun 2010 menunjukkan bahwa individu yang menjalin hubungan romantis memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan mereka yang lajang.

6. Kecemburuan yang Sehat

Kecemburuan dalam batas wajar dapat memperkuat ikatan emosional dalam hubungan. Hal ini menunjukkan adanya komitmen terhadap pasangan serta meningkatkan rasa keterikatan. Namun, penting untuk mengelola perasaan ini dengan bijak agar tidak menimbulkan ketegangan dalam hubungan.

Dampak Cinta pada Tubuh

Selain memengaruhi otak, jatuh cinta juga membawa perubahan nyata pada tubuh manusia.

1. Peningkatan Gairah

Androgen, kelompok hormon yang termasuk testosteron, meningkat saat seseorang jatuh cinta. Hal ini berkontribusi pada peningkatan gairah dan hasrat seksual terhadap pasangan.

2. Meningkatkan Kesehatan Fisik

Hubungan yang stabil dan penuh cinta memiliki manfaat kesehatan yang signifikan, termasuk menurunkan risiko penyakit jantung, menjaga tekanan darah tetap stabil, meningkatkan kekebalan tubuh, dan mempercepat proses penyembuhan dari penyakit.

3. Memperpanjang Umur

Penelitian tahun 2011 yang menganalisis 95 studi menemukan bahwa individu yang menjalin hubungan romantis memiliki peluang hidup lebih lama dibandingkan mereka yang hidup sendiri. Orang lajang memiliki risiko kematian dini 24% lebih tinggi dibandingkan mereka yang menikah atau tinggal bersama pasangan.

4. Mengurangi Rasa Sakit

Studi tahun 2010 menunjukkan bahwa hanya dengan melihat foto pasangan, seseorang dapat mengalami penurunan rasa sakit. Hal ini disebabkan oleh pelepasan hormon yang meningkatkan perasaan nyaman dan mengurangi persepsi terhadap rasa sakit.

Cinta tidak hanya memberikan kebahagiaan emosional, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi kesehatan mental dan fisik. Dengan memahami bagaimana otak dan tubuh bereaksi terhadap cinta, kita dapat lebih menghargai hubungan yang sehat dan berusaha membangun ikatan yang kuat dengan pasangan.

Sumber Ilmiah

  1. Fisher, H. E., Aron, A., & Brown, L. L. (2005).
    Romantic Love: An fMRI Study of a Neural Mechanism for Mate Choice. Journal of Comparative Neurology, 493(1), 58-62.
    [DOI: 10.1002/cne.20772]
  2. Bartels, A., & Zeki, S. (2000).
    The Neural Basis of Romantic Love. NeuroReport, 11(17), 3829-3834.
    [DOI: 10.1097/00001756-200011270-00046]
  3. Zeki, S. (2007).
    The Neurobiology of Love. FEBS Letters, 581(14), 2575-2579.
    [DOI: 10.1016/j.febslet.2007.03.094]
  4. Acevedo, B. P., & Aron, A. (2009).
    Does a Long-Term Relationship Kill Romantic Love? Journal of Neurophysiology, 101(3), 1055-1062.
    [DOI: 10.1152/jn.91108.2008]
  5. Young, L. J., & Wang, Z. (2004).
    The Neurobiology of Love. Nature Neuroscience, 7(10), 1048-1054.
    [DOI: 10.1038/nn1327]
  6. Cacioppo, S., et al. (2012).
    Neural Mechanisms of Social Connection. Trends in Cognitive Sciences, 16(10), 580-587.
    [DOI: 10.1016/j.tics.2012.07.004]
  7. Ortigue, S., Bianchi-Demicheli, F., Patel, N., Frum, C., & Lewis, J. W. (2010).
    Neuroimaging of Love: fMRI Meta-Analysis Evidence Toward New Perspectives in Sexual Medicine. Journal of Sexual Medicine, 7(11), 3541-3552.
    [DOI: 10.1111/j.1743-6109.2010.01999.x]

Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menonton rekaman diskusi ini melalui tautan berikut: