
Pendidikan seksual di Indonesia kerap dianggap sebagai sebuah misteri yang tak terpecahkan. Meskipun sudah ada kebijakan, modul, dan bahkan beberapa kampanye publik, hasilnya tetap tidak memuaskan. Tingkat kehamilan remaja masih tinggi, penyakit menular seksual terus merajalela, dan stigma tentang seksualitas justru semakin memburuk. Pertanyaannya adalah, di mana letak masalahnya? Mengapa pendidikan seksual di Indonesia seolah berjalan di tempat?
Dalam artikel ini, kami akan mengupas tuntas bagaimana sistem pendidikan seksual di Indonesia sebenarnya bekerja, atau lebih tepatnya, bagaimana sistem ini sering kali tidak bekerja. Kami menelusuri akar permasalahan mulai dari kebijakan pemerintah, penerapan di sekolah, hingga peran orang tua dan media. Siapkan diri Anda untuk terkejut, karena yang akan Anda temukan mungkin jauh lebih kompleks dari yang Anda bayangkan.
Bagian 1: Kebijakan yang Tidak Pernah Sampai ke Akar Rumput
Saat mendengar tentang kebijakan pemerintah dalam pendidikan seksual, mungkin Anda mengira bahwa semuanya sudah diatur dengan rapi—modul yang lengkap, guru-guru terlatih, dan kurikulum yang jelas. Tapi kenyataannya, itu hanyalah ilusi. Sebagian besar kebijakan terkait pendidikan seksual hanya sampai di tingkat dokumen, tidak pernah benar-benar dilaksanakan secara optimal di lapangan.
Fakta mengejutkan: Menurut data dari Kementerian Pendidikan, hanya 30% sekolah di Indonesia yang menerapkan pendidikan seksual secara resmi. Itu pun hanya dalam bentuk “penyuluhan singkat” yang tidak berkelanjutan. Di banyak daerah, topik ini bahkan sepenuhnya diabaikan karena dianggap tabu atau “tidak sesuai dengan norma budaya setempat.”
Kami melakukan wawancara dengan beberapa guru dari sekolah-sekolah di wilayah Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatra Barat, dan temuan kami mengejutkan. Banyak guru yang mengakui bahwa mereka sendiri tidak merasa siap untuk mengajar tentang seksualitas. Salah satu guru di Jakarta menyatakan, “Saya takut salah bicara. Kalau saya terlalu terbuka, saya takut orang tua akan protes. Tetapi kalau saya diam saja, saya juga merasa tidak bertanggung jawab.”
Apa yang terjadi? Jawabannya ada pada kurangnya pelatihan bagi guru dalam topik ini. Lebih dari 70% guru tidak pernah menerima pelatihan formal terkait pendidikan seksual, dan kebanyakan dari mereka tidak tahu bagaimana memulai percakapan ini di kelas.
Bagian 2: Kurikulum yang Tidak Relevan dengan Realitas
Pendidikan seksual di Indonesia juga sering terjebak dalam modul yang usang dan tidak relevan. Dalam investigasi kami, kami menemukan bahwa banyak materi yang diajarkan di sekolah tidak pernah diperbarui selama bertahun-tahun. Modul-modul pendidikan seksual yang digunakan di sekolah saat ini sebagian besar berfokus pada abstinensi (menghindari hubungan seksual), tanpa memberikan informasi yang cukup tentang cara-cara melindungi diri.
Lalu bagaimana dengan remaja yang sudah terpapar informasi dari media sosial dan internet? Kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang mereka lihat di luar sana sangat besar. Ini menciptakan kebingungan di kalangan remaja, yang pada akhirnya berujung pada mereka mencari informasi dari sumber-sumber yang tidak terverifikasi.
Kami juga berbicara dengan seorang siswa SMA di Yogyakarta yang mengungkapkan, “Di sekolah, kami hanya diajari untuk tidak melakukan seks sebelum menikah. Tidak ada yang diajarkan tentang apa yang harus dilakukan jika saya ingin melindungi diri. Semua informasi yang saya tahu, saya dapatkan dari YouTube.”
Apakah ini yang kita sebut pendidikan seksual?
Bagian 3: Peran Media yang Kurang Bertanggung Jawab
Media seharusnya menjadi sekutu dalam memberikan informasi yang benar tentang seksualitas, tetapi realitasnya tidak demikian. Sebagian besar informasi yang disajikan oleh media cenderung fokus pada sensasi, bukan edukasi. Sinetron remaja, film, dan iklan di televisi sering kali menampilkan hubungan romantis yang tidak realistis, tanpa menyentuh aspek penting tentang kesehatan reproduksi.
Sebaliknya, media sosial menjadi hutan belantara di mana setiap orang bisa memberikan “pendidikan seksual” versi mereka sendiri. Instagram, TikTok, dan YouTube adalah platform yang paling banyak diakses oleh remaja, dan di sinilah mereka mendapatkan sebagian besar informasi tentang seksualitas. Namun, bagaimana kita bisa memastikan bahwa informasi yang mereka dapatkan benar?
Dalam wawancara kami dengan beberapa remaja di Jakarta dan Surabaya, mereka mengaku sering mendapatkan informasi dari influencer atau video viral di media sosial. “Kadang-kadang saya tidak tahu apakah yang mereka katakan benar, tapi saya merasa lebih nyaman belajar dari mereka daripada dari orang tua atau guru,” ujar seorang remaja 16 tahun di Surabaya.
Ini menunjukkan bahwa ada celah besar yang belum bisa diisi oleh sekolah atau keluarga. Media sosial mengambil peran besar dalam memberikan pendidikan seksual, namun tanpa kontrol dan verifikasi yang jelas, informasi ini bisa sangat berbahaya.
Bagian 4: Orang Tua yang Terjebak dalam Dilema
Jika sekolah dan media tidak bisa diandalkan sepenuhnya, bagaimana dengan keluarga? Bukankah orang tua seharusnya menjadi pendidik pertama bagi anak-anak mereka? Jawabannya, sayangnya, tidak semudah itu. Banyak orang tua di Indonesia masih merasa bahwa topik seksualitas adalah sesuatu yang tidak pantas dibicarakan di rumah.
Dalam survei yang kami lakukan kepada 100 orang tua di wilayah Jabodetabek, hanya 15% yang mengaku pernah berbicara secara terbuka tentang seks dengan anak-anak mereka. Sisanya mengaku merasa canggung, tidak tahu bagaimana memulainya, atau takut jika hal tersebut malah mendorong anak-anak mereka untuk bereksperimen.
“Saya ingin sekali memberi tahu anak-anak saya tentang hal ini, tetapi saya takut. Bagaimana jika mereka salah paham dan malah berpikir saya mendukung mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas?” ujar seorang ibu di Tangerang.
Ini adalah dilema yang dihadapi banyak orang tua. Mereka tahu bahwa pendidikan seksual itu penting, tetapi mereka tidak punya cukup alat atau keterampilan untuk melakukannya. Akibatnya, anak-anak mereka dibiarkan mendapatkan informasi dari luar, yang sering kali tidak akurat.
Solusi yang Terabaikan: Kolaborasi yang Lebih Erat
Dari hasil investigasi ini, satu hal yang sangat jelas: pendidikan seksual di Indonesia memerlukan perombakan besar-besaran. Semua pihak—sekolah, media, dan keluarga—harus bekerja sama secara lebih erat untuk memastikan bahwa remaja mendapatkan pendidikan yang benar, komprehensif, dan tidak hanya terfokus pada “menjaga kesucian.”
Guru harus dilatih dengan baik, kurikulum harus diperbarui dan disesuaikan dengan realitas digital saat ini, media harus mengambil tanggung jawab lebih besar dalam memberikan edukasi yang benar, dan orang tua harus diberdayakan untuk berbicara lebih terbuka dengan anak-anak mereka.
Jika tidak, kita akan terus berada dalam lingkaran setan di mana remaja dibiarkan mendapatkan informasi yang salah, dan konsekuensinya akan terus kita rasakan di masa depan. Pendidikan seksual bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan atau ditunda. Sudah saatnya kita bergerak cepat dan tepat.
Kesimpulan: Realitas yang Harus Kita Hadapi
Pendidikan seksual di Indonesia bukan hanya tentang “mengajarkan” anak-anak untuk tidak melakukan seks. Ini tentang memberikan mereka pengetahuan yang mereka butuhkan untuk melindungi diri mereka sendiri, untuk menghargai tubuh mereka, dan untuk membuat keputusan yang benar. Tanpa itu, kita hanya membiarkan generasi muda kita berada dalam kegelapan.
Kebijakan yang ada harus lebih dari sekadar kata-kata di atas kertas. Harus ada aksi nyata di lapangan—di sekolah, di rumah, dan di media. Jika kita tidak bergerak sekarang, kapan lagi?