
warnamediaonline.com_Bayangkan sebuah kapal megah, bernama Indonesia, berlayar di lautan luas yang penuh gejolak. Selama bertahun-tahun, kapal ini menempuh perjalanan stabil, tenang, didorong oleh angin lembut dari investasi langsung asing (FDI). Di tengah ombak yang mendebur, meskipun angin perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok mengoyak layar kita pada 2018, kapal ini tetap melaju. Lalu datang pandemi COVID-19, seperti badai besar yang tiba-tiba menghantam, memukul mundur kapal ini ke tepian, dan menggoyahkan keseimbangannya. Namun, kita masih tetap bertahan, layar robek, tapi kita belum tenggelam. Kini, di tahun 2023, penguatan dolar AS menghantui kita seperti badai tropis, menyeret kapal ke perairan yang lebih dalam dan tak menentu. Akan tetapi, di balik semua itu, ada sebuah harapan yang tetap berpendar—investasi langsung yang masih menopang kapal ini di lautan penuh badai.

Kapal Indonesia ini berlayar dengan dua sayap: investasi langsung dan investasi portofolio. Namun, satu hal yang perlu diingat adalah, meskipun investasi langsung ibarat jangkar yang stabil, investasi portofolio itu seperti angin kencang yang tak menentu. Ia bisa datang dengan cepat dan pergi secepat kilat. Setiap kali angin proteksionisme global bertiup, setiap kali dolar AS menguat, atau saat ada guncangan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, angin ini menghilang, meninggalkan kapal besar Indonesia terombang-ambing tanpa arah. Begitulah sifat investasi portofolio—tak bisa diandalkan dalam badai besar. Dan ketika angin ini pergi, apakah jangkar investasi langsung cukup kuat untuk menahan kapal di tengah lautan yang bergejolak?
Namun, bukan hanya angin dan ombak yang mengancam pelayaran ini. Di kedalaman laut, jalanan yang kita tempuh penuh dengan rintangan. Infrastruktur kita, seperti tali temali yang kusut, membuat kapal ini melambat. Biaya logistik yang melambung, jalan yang berlubang, dan pelabuhan yang penuh sesak seperti benalu yang menghambat laju kapal. Kapal besar ini ingin bergerak cepat, ingin berlayar jauh ke depan, tapi tali temali infrastruktur yang rapuh membuat setiap langkah terasa berat. Bayangkan jika infrastruktur kita setara dengan kapal kita—betapa cepatnya kapal ini bisa melaju, betapa jauh kita bisa menempuh lautan ekonomi global yang luas.
Di balik kabut masa depan, tembok proteksionisme global semakin tinggi. Dulu, kita bisa dengan mudah melewati perairan ini dan menembus pasar-pasar global. Tapi kini, setiap negara mulai menaikkan temboknya, menutup diri dari perdagangan bebas, membangun benteng-benteng yang semakin sulit ditembus. Tembok proteksionisme ini bukan hanya sebuah penghalang, melainkan juga ancaman besar bagi kapal Indonesia yang tengah mencoba menavigasi lautan dunia. Apakah kita akan menemukan celah untuk menembus tembok ini, atau kita akan terperangkap di perairan lokal tanpa arah?
Satu hal yang tetap memberikan harapan di tengah badai adalah kekuatan kepercayaan global terhadap kredibilitas fiskal kita. Pemerintah terus menjaga stabilitas dengan menciptakan instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang menarik bagi investor global. Ini adalah jangkar kedua yang membuat kapal tetap terapung di tengah derasnya arus ketidakpastian. Namun, untuk berlayar lebih jauh, kita tak bisa hanya bergantung pada satu jangkar saja. Kita butuh lebih banyak modal, lebih banyak investasi langsung, lebih banyak tali temali yang kuat untuk memastikan kapal kita tidak tersapu badai berikutnya.
Dengan ketidakpastian global yang tak pernah usai, pertanyaan besar bagi kapal ini adalah: bagaimana kita bertahan di tengah gelombang yang semakin tinggi? Satu hal yang pasti, kapal Indonesia harus siap menghadapi setiap badai yang datang—baik itu angin proteksionisme, guncangan dolar AS, atau gelombang perang dagang. Kapal ini harus terus bergerak maju, beradaptasi dengan lautan global yang penuh tantangan. Kita tidak bisa hanya menunggu angin baik datang, kita harus menciptakan angin itu sendiri.
Apakah kita akan terus berlayar, atau tenggelam di tengah lautan global yang penuh badai? Kapal ini besar, awaknya kuat, tapi tantangannya lebih besar. Badai besar sudah di depan mata, dan hanya mereka yang siap yang akan tetap terapung.